Istilah 'blusukan' belakangan menjadi sangat populer di telinga kita. Meski bukan istilah baru, 'blusukan' kian dikenal setelah seorang gubernur di republik ini melakukan kegiatan tersebut.
'Blusukan' biasanya dilakukan seorang pemimpin untuk mengetahui kondisi rakyatnya lebih dekat dan objektif. Cara ini dilakukan sang pemimpin dengan masuk secara langsung ke dalam kampung, bertatap muka dengan rakyat, dan melepas segala atribut istana dan protokoler yang melekat di dirinya. Tujuannya hanya satu, mengetahui bagaimana keadaan rakyat yang sebenarnya. Sehingga dengan upaya itu, sang pemimpin dapat mengambil kebijakan yang lebih tepat dan menyentuh.
Namun dalam praktiknya saat ini, cara 'tulus' seperti itu seringkali 'disalahgunakan' menjadi alat pencitraan bagi politisi tertentu agar mendapat simpatik publik dengan memanfaatkan publikasi media luas. Padahal seyogyanya 'blusukan' tidak diketahui. Kegiatan 'blusukan' menjadi semacam 'operasi senyap' sang pemimpin.
Pemimpin-pemimpin Islam bahkan sudah sejak lama dan banyak yang melakukan kegiatan ini. Kegiatan ini dilakukan sebagai perwujudan ketakutan mereka kepada Allah SWT atas amanah kekuasaan dan kepemimpinan yang diembannya.
Salah satu pemimpin besar Islam yang gemar melakukan 'blusukan' adalah Khalifah kedua, Umar bin Khattab. Sahabat Rasulullah yang bergelar 'Al-Faruq' ini dikisahkan dalam sejumlah referensi sejarah Islam, gemar keluar di malam hari untuk melihat kondisi rakyatnya. Meski sebagai khalifah, Umar hidup sangat sederhana. Meski berada di puncak kekuasaan, Umar tidak gelap harta. Meski memiliki otoritas, Umar tetap menyadari kedudukannya sebagai hamba Allah dan pelayan rakyatnya.
'Blusukan' Umar lebih menunjukkan kewibawaan dan kebijaksanaannya sebagai Khalifah. Bukan pencitraan politik. Bahkan seringkali rakyat yang ditemuinya tak mengenalnya sebagai khalifah.
Berikut beberapa kisah 'blusukan' Khalifah Umar bin Khattab sebagaimana diriwayatkan sejumlah Sahabat,
1. Umar dan Perempuan Buta
Sahabat Nabi SAW, Thalhah bin Ubaidillah pernah mengatakan dalah sebuah riwayat. Suatu ketika Umar keluar dalam kegelapan malam dan masuk ke salah satu rumah. Setelah malam itu berlalu dan pagi menjelang, Thalhah lalu mencari rumah tersebut dan mendatanginya. Saat tiba di rumah itu, ternyata dalam rumah terdapat seorang perempuan tua yang buta sedang duduk. Thalhah lalu bertanya kepada sang nenek, "Mengapa lelaki ini (Umar) datang ke rumahmu?"
Wanita tua itu kemudian menjawab, "Ia selalu mengunjungiku setiap beberapa hari sekali untuk membantuku membersihkan dan mengurus segala keperluanku."
Thalhah terkejut dengan keterangan yang disampaikan wanita itu. Bahkan Thalhah lalu mencerca dirinya sendiri, "Celakalah dirimu wahai Thalhah, kenapa engkau memata-matai Umar?"
2. Umar dan tangisan bayi yang disapih ibunya
Seuatu ketika ada sebuah rombongan musafir tiba di Madinah. Mereka lalu turun untuk beristirahat di sebuah musala. Mendengar ada berita kedatangan rombongan musafir, Umar lalu berkata kepada Abdurrahman bin Auf, "Bagaimana jika malam ini kita menjaga mereka?"
Ajakan khalifah tak kuasa ditolak Abdurrahman. Abdurrahman pun mengiyakan ajakan pemimpinnya. "Ya, aku setuju!"
Saat malam tiba, kedua sahabat Nabi SAW ini berjalan menuju tempat peristirahatan para musafir di musala. Keduanya menjaga harta dan kenyamanan para musafir sepanjang malam sambil melakukan salat bergantian.
Di tengah penjagaannya, tiba-tiba Umar mendengar suara anak kecil menangis. Umar lalu menuju sumber suara itu dan ditemuinya sang ibu. Umar berkata, "Takutlah engkau kepada Allah dan berbuat baiklah dalam merawat anakmu."
Umar lalu kembali ke tempatnya. Selang beberapa saat, tangisan sang bayi terdengar kembali. Dia mendengar lagi suara bayi dan kembali mendatanginya. Umar berkata kembali kepada sang ibu sebagaimana perkataannya yang awal.
Setelah itu, Umar pun ke tempatnya semula. Namun tak lama, di akhir malam Umar lagi-lagi mendengar bayi tersebut menangis. Umar segera mendatanginya dan kembali berkata kepada ibu sang bayi, "Celakalah engkau, sesungguhnya engkau adalah ibu yang buruk, kenapa aku mendengar anakmu menangis sepanjang malam?"
Wanita yang tidak mengenali Umar ini lalu menjawab, "Hai tuan, sesungguhnya aku berusaha menyapihnya dan memalingkan perhatiannya untuk menyusu tetapi dia masih tetap ingin menyusu." Umar bertanya, "Kenapa engkau akan menyapihnya?"
Wanita itu menjawab, "Karena Umar hanya memberikan jatah makan terhadap anak-anak yang telah disapih saja."
"Berapa usia anakmu?" tanya Umar.
"Baru beberapa bulan saja," jawabnya.
"Celakalah engkau, kenapa terlalu cepat engkau menyapihnya?" cetus Umar.
Setelah dialog itu, tak lama waktu subuh pun tiba. Umar pergi ke Masjid untuk memimpin kaum muslimin salat subuh berjamaah. Saat menjadi imam, suara tilawah Umar nyaris tak terdengar oleh kaum muslimin lantara tangisnya yang agak keras.
Dalam benak, Umar berkata kepada dirinya, "Celakalah engkau hai Umar berapa banyak anak-anak bayi kaum muslimin yang telah engkau bunuh."
Setelah salat subuh, Umar lalu memerintahkan pegawainya untuk mengumumkan kepada seluruh rakyatnya perihal kebijakan baru. "Janganlah kalian terlalu cepat menyapih anak-anak kalian, sebab kami akan memberikan jatah bagi setiap anak yang lahir dalam Islam."
3. Umar dan ibu yang akan melahirkan
Dalam sebuah riwayat, Aslam pernah menceritakan pengalamannya bersama Umar bin Khattab. Suatu malam, Aslam pernah menemani Umar pergi ke luar kota. Dari kejauhan, keduanya melihat kilauan cahaya yang terpancar dari sebuah tenda. Keduanya lalu menghampiri tenda itu.
Saat sudah mendekat, keduanya terkejut. Ternyata ada seorang wanita yang sedang menangis di dalam tenda. Umar bertanya tentang keadaan sang wanita. Wanita itu menjawab, "Aku adalah seorang wanita Arab yang akan bersalin (melahirkan) sedangkan aku tidak memiliki apapun".
Mendengar jawaban itu Umar menangis terseduh. Ia lalu keluar tenda dan berlari kencang menuju rumahnya. Umar menemui istrinya, Ummu Kaltsum binti Ali bin Abi Thalib dan berkata kepadanya, "Apakah engkau mau mendapatkan pahala yang akan Allah karuniakan kepadamu?"
Umar menceritakan kejadian yang baru saja ditemuinya kepada istrinya.
"Ya, aku akan membantunya," jawab istri Umar.
Setelah itu, tanpa berpikir panjang, Umar segera mengambil satu karung gandum beserta daging dan memanggulnya. Sementara Ummu Kaltsum membawa peralatan yang dibutuhkan untuk persalinan. Keduanya berjalan mendatangi wanita tersebut. Sesampainya di tenda, Ummu Kaltsum segera masuk ke tempat wanita itu, sementara Umar duduk bersama suami sang wanita yang tidak mengenal wajah Umar. Keduanya berbincang-bincang. Umar mencoba menenangkan hati lelaki itu.
Setelah beberapa saat, tangisan bayi terdengar dari dalam tenda. Ummu Kaltsum berhasil membantu persalinan wanita papa tersebut. Ummu Kaltsum lalu berkata kepada suaminya, "Wahai Amirul Mukminin, sampaikan berita gembira kepada suaminya bahwa anaknya yang baru lahir adalah lelaki."
Lelaki itu terkejut mendengar kata 'Amirul Mukminin' keluar dari mulut Ummu Kaltsum. Dia tak menyadari jika telah berbincang-bincang dengan seorang khalifah, dan yang membantu persalinan istrinya adalah seorang Ummul Mukminin. Lelaki itu lalu meminta maaf kepada Umar. Namun Umar membalas dengan amat rendah hati,"Tidak mengapa".
Setelah itu, Umar memberikan kepada mereka nafkah dan segala kebutuhan pokok yang diperlukannya sebelum pagi menjelang. Umar dan istrinya lalu kembali ke rumah.
4. Umar dan sekarung gandum
Aslam kembali pernah meriwayatkan pengalamannya bersama Khalifah Umar bin Khattab. Suatu malam dia menemani Umar pergi menuju dusun Waqim. Saat� sampai di Shirar, keduanya melihat ada api menyala.
Umar berkata, "Wahai Aslam, di sana ada musafir yang kemalaman, mari kita berangkat menuju mereka".
Keduanya lalu menghampiri sumber api. Tak disangka, di dekat api itu tenda. Di dalamnya ada seorang wanita bersama anak-anaknya yang sedang menanti periuk di atas api. Anak-anak itu menangis.
"Assalamu alaiki wahai pemilik api," tanya Umar.
"Wa alaika as-Salam," jawab sang wanita.
"Kami boleh mendekat?" tanya lagi Umar.
"Silakan!"
"Ada apa gerangan dengan kalian?" kata Umar.
"Kami kemalaman dalam perjalanan serta kedinginan," jawab wanita itu yang masih tak mengenali siapa Umar.
"Kenapa anak-anak itu menangis?" tanya Umar. "Karena lapar," jawabnya.
Umar kembali bertanya, "Apa yang engkau masak di atas api itu?"
"Air agar aku dapat menenangkan mereka hingga tertidur. Dan Allah kelak yang akan jadi hakim antara kami dengan Umar," jawab wanita itu jelas.
Ucapan wanita papa itu ternyata sangat mengejutkan Umar. Hati Umar tersentak. Umar menangis. Umar pun lalu berlari pulang menuju gudang tempat penyimpanan gandum. Ia segera mengeluarkan sekarung gandum dan satu ember daging, sambil berkata kepada Aslam, "Wahai Aslam, naikkan karung ini ke atas pundakku."
"Biar aku saja yang membawanya untukmu," pinta Aslam.
"Apakah engkau mau memikul dosaku kelak di hari kiamat?" cetus Umar. Aslam akhirnya tak kuasa memenuhi permintaan Umar. Dia lalu memikulkan karung itu ke atas pundak Umar dan mendatangi kembali tempat wanita itu.
Tiba di tenda, Umar segera meletakkan karung gandum dan mengeluarkannya untuk diletakkan ke dalam periuk. Umar juga memasukkan daging ke dalam periuk. Umar memasakkan makanan untuk sang wanita dan anak-anaknya tersebut. Bahkan saat meniup api periuk, jenggot Umar sempat tersambar kilatan api.
"Berikan aku piring kalian!" pinta Umar kepada sang wanita. Setelah piring diletakkan segera Umar menuangkan isi periuk ke dalam piring-piring itu dan menghidangkannya kepada anak-anak wanita itu seraya berkata, "Makanlah!"
Anak-anak itu terlihat menikmati makanan yang dihidangkan Umar hingga merasa kenyang. Melihat kebaikan budi Umar, wanita itu lalu berdoa agar Allah memberi ganjaran setimpal kepadaya. Sementara sang wanita sendiri tak mengetahui jika lelaki yang bersusah payah menolongnya adalah Umar bin Khattab, sang Khalifah.
Umar masih bersama mereka hingga anak-anak itu tertidur pulas. Setelah semunya selesai, Umar lalu memberikan nafkah kepada mereka sebelum pulang.
"Wahai Aslam, sesungguhnya rasa laparlah yang membuat mereka begadang dan tidak dapat tidur," tutur Umar kepada Aslam sambil berjalan pulang ke rumah sebelum pagi menjelang.